Selasa, 18 Desember 2012

features jurnalistik


Munirotun Nisak (26.1.1.1.016)


“AYAM BAKAR DAN GORENG BU TUM”

Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Seperti itulah kiranya perjuangan yang harus dialami oleh pasangan Sugeng Prayitno (67) dan Tuminah (58) dalam hidup ini.
 pasangan suami istri ini merupakan pengusaha rumah makan ayam yang saat ini terkenal dengan nama “Ayam Bakar dan Goreng Bu Tum.” Sejakb 1988 Bu Tum (panggilan Tuminah) berjualan ayam, bermula dari jualan ayam mentah 1 ekor  keliling di daerah Windan, Makamhaji dia menjalankan usahanya. Walaupun saat itu hanya mendapatkan laba yang tidak seberapa, namun ia sangat bersyukur dan selalu semangat.
Dalam  melakukan usaha ini bukan tanpa perjuangan banyak sekali hambatan yang ia alami, dengan bermodalkan meminjam uang dari bank plecet (rentenir), yang setiap sorenya pun langsung  ditagih. “Saya pernah mbak, pinjam uang dari bank plecet ternyata jatuh di jalan, sampai di rumah saya cari di kantong rok sudah tidak ada, padahal saat itu untuk modal usaha saya ini supaya lebih maju.” ungkap Bu Tum dengan logat jawanya yang kental.
 Ia mulai mengembangkan usahanya tersebut dari yang awalnya 1 ekor ayam mentah, kini sedikit demi sedikit ia mulai menambah ayam yang ia jual, setiap hari mulai dari jam 3 pagi suaminya Sugeng Prayitno selalu siap untuk membeli ayam di Pasar Silir Solo.
Dengan mengayuh sepeda onthelnya walaupun begitu jauh ia sangat bersemangat untuk melakukan demi anak dan istrinya. Biasanya ia sampai rumah sekitar jam 7, dan kemudian ayam dipotong terlebih dahulu, kemudian dimasak, setelah  itu dipotong berikutnya digoreng dan dijual kemasyarakat sekitar.
Selama hampir 8 tahun Bu Tum tetap berjualan ayam mentah, kemudian pada suatu hari ia melihat tetangganya membawa ayam goreng utuh yang dikemas dan ditaburi kremes begitu bagus dan diberikan olehnya. Setelah ditanya ternyata ayam goreng tersebut dibeli ketika di Yogyakarta. Dari situlah Bu Tum memilki inisiatif untuk menjual ayam goreng dan kemudian berlanjut keayam bakar, serta bebek goreng. “Saat itu saya belum tahu cara membuat kremes itu bagaimana kira-kira 3 bulan baru bisa jadi, la saya mau tanya, tanya ke siapa mbak la wong juga gak ada yang tahu”. Kata Bu Tum panggilan akrabnya.
Hingga pada 1996 ia pun mulai membuka kios kecil di samping rumahnya untuk mengembangkan usahanya, tidak disangka pembelinya pun banyak tidak hanya masyarakat sekitar namun juga dari luar kota, sampai sekarang pun demikian pelanggan baik dari daerah Solo, maupun luar kota seperti Surabaya, Yogyakarta, Semarang dan yang lainnya semakin banyak.
Atas kehendak Allah, dari usaha ini ia bisa membesarkan dan menyekolahkan empat anaknya Sarwo Edi, Hendri, Ari Windaningsih, dan Bayu Aji. Saat ini Bu Tum telah memilki cabang di Jaten Karanganyar, Baki Kwarasan, Ngabeyan Kartasura, Kalioso, Kudus, Bekonang, dan Banyuanyar yang masing-masing dimilki oleh anak-anaknya tersebut.
Usaha ini pun tidak serta merta dimiliki sendiri, namun ditularkan ke adik-adiknya yang sekarang juga sudah berkembang yaitu Ayam Goreng dan Bakar Pak Cipto,  serta Ayam Kampung  Mbak Yanti yang masing-masing berada di daerah Gembongan, Kartasura. “Setiap usaha pasti ada jalannya dan yakinlah bahwa Allah selalu tahu apa yang terbaik  untuk kita, dan waktu adalah uang” itulah pesan dari Bu Tum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar